Kenanganmu dalam Diriku
Pekatnya malam semakin gelap. Bulan dan bintang telah berdansa dalam pestanya, mengunci mentari dalam tidur lelapnya. Jarum jam dindingku menunjukan pukul sebelas. Aku masih hanyut dalam kesibukanku menyusun skripsi. Kepala dan tubuhku telah berteriak minta istirahat, mataku mulai perih. Aku menghela napas panjang. “Mengapa aku tak dapat menyelesaikannya? Padahal tinggal sedikit lagi. Baiklah aku akan tidur sebentar.” Aku mengambil HP-ku dan menyetel alarm jam 2 pagi, lalu menaruhnya di bawah bantal. Aku pun berbaring.
Bip bip! Bip bip!
Baru sebentar berbaring sudah bunyi alarmnya?
Aku mengambil Hp-ku. Oh, ternyata ada SMS masuk. SMS dari … Carissa? Keringat
dingin langsung membasahi tubuhku, dengan gemetar aku membalas SMS-nya.
“Wen, apa kamu
ada di rumah?”
“Iya aku
dirumah.”
“Apa aku boleh
kesana?”
“Kamu mau
kesini … ? Kenapa?”
“Aku
merindukanmu.”
“Tapi …,”
“Tenang saja,
aku akan datang secara baik-baik. Aku tidak akan membuatmu takut ataupun
terkejut. Aku berjanji hanya akan melepas rindu di hatiku.”
“Baiklah kalau
begitu, Sa. Pegang janjimu …,”
Akhirnya aku tak jadi melanjutkan tidurku. Aku
pun menunggu sosok itu, sosok yang sudah lama tak kulihat. Gadis yang dulu
selalu mengunjungiku setiap malam, diam-diam aku merindukannya. Dia selalu
bertanya apakah aku ada di rumah dan apakah aku dapat ditemui. Dia yang selalu duduk
di pinggir tempat tidurku dan berceloteh mengenai kesehariannya.
Kadang dia berbaring hingga tertidur, sehingga
aku harus berbagi tempat tidur dengannya. Mungkin dia datang untuk menarik
seluruh penat yang mengunci diriku. Rasa sepi yang mengurung hatiku ini terbang
entah kemana. Terkadang aku merasa terganggu dengan senyum manisnya, namun pada
saat itu juga aku merasa terhibur.
Jarum pendek jam dinding kamarku menunjukan angka
dua belas. Jantungku memompa darah sekencang-kencangnya, hingga dadaku terasa
sesak. Keringat di tengkuk dan dahiku bercucuran, meski pendingin ruanganku
berfungsi dengan baik. Mengapa aku takut untuk berjumpa dengannya …?
Ting tong …!
Itu dia! Gadis yang dari tadi kutunggu sudah
berada tepat di depan rumahku. Segera kuberanjak dari tempat tidurku, berlari
ke arah pintu. Aku mengambil kunci dari kantong celanaku dan segera membuka
pintu. Pelan-pelan kutarik gagang pintu, dan akhirnya … terlihat sosokmu. Wajah
yang oval, mata yang sipit, dengan senyum yang menghiasnya, seluruh ketakutan
yang menghantuiku sirna seketika.
“Wen … bagaimana kabarmu?”
“Sa … kamu tidak berubah. Si-silakan masuk.”
Gadis itu masuk, aku menutup pintu, lalu kita
pergi ke kamar. Dia menaruh tas selempangnya yang berwarna merah di kursi meja
belajarku seperti biasa. Dia duduk di pinggir tempat tidurku, lalu menoleh dan
tersenyum ke arahku. Mengisyaratkan diriku untuk duduk di sebelahnya. Semuanya
… terasa seperti biasa. Seperti tak ada yang berubah. Perlahan kesepian dalam
hatiku mulai memudar.
“Sa, kamu tidak mau meminta minum seperti
biasanya?” Carissa hanya tersenyum. Aku membalas senyumnya
yang aneh itu. Aku menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya. Aku ingin meraih
tangannya, namun dia mengelak.
“Wen, kau tahu aku sudah berjanji untuk tidak
menakutimu.” Carissa menundukan wajah pucatnya, kedua mata sayunya memancarkan
sinar yang lemah. Dia menyatukan jemarinya seperti hendak berdoa, lalu menoleh
lagi kepadaku.
“Wen, aku sangat merindukanmu. Aku merindukan
saat-saat kita seperti ini. Dulu mungkin hal ini terasa sangat biasa hingga
membosankan. Namun setelah aku melalui semua itu, aku menyadari betapa
berharganya saat-saat seperti ini.”
“Sa …,” Aku tak sanggup melihat mata sayunya
yang penuh memori. Hatiku terasa pedih mendengar suara lembutnya yang sudah
lama tak memenuhi celah-celah kehidupanku. “Sa, … apa maksudmu? Apa yang sudah
kamu lalui, Sa? Mengapa kamu terlihat sangat menderita begini?”
“Wen …, aku sudah melewati banyak hal yang
mengerikan. Sesaat setelah kejadian itu, aku terperangkap dalam kegelapan tanpa
batas. Aku tak tahu kemana aku harus melangkah. Aku juga tak dapat meminta
tolong pada siapapun. Aku …,”
Kedua mata sayunya berkaca-kaca. Pipinya yang
dulu selalu merona itu basah oleh penderitaannya yang dalam. Bibirnya yang dulu
selalu berwarna merah terkatup beberapa saat. Kupu-kupu dalam dadaku ingin
mendesak keluar, membuatku merasa sakit melihatnya. Secara tak sadar, kutaruh
telapak tanganku di pundaknya, mencoba menghiburnya. Dingin sekali seperti
mayat.
“Tubuhmu seperti es, Sa.” Cepat-cepat kutarik
kembali tanganku sebelum membeku. Carissa menoleh lagi dan tersenyum. Aneh.
Senyum itu terlihat tulus dan manis, namun kedua matanya kosong dan sendu.
“Wen …, maafkan aku. Aku tak mau memperlihatkan
penderitaanku padamu, tapi aku tak sanggup.”
“Kamu tak perlu menceritakannya bila itu
membuatmu sakit, Sa.”
Carissa menggeleng pelan. Dia mulai membuka
bibirnya yang sebiru laut. "Di antara kegelapan yang kelam itu, aku terus
berteriak dan memohon pada ketiadaan. Entah berapa hari aku terperangkap. Semuanya
terasa amat sangat lama …,”
Carissa terhening sesaat, lalu menarik bibirnya
sedikit, memberikan senyuman kecil.
“Aku sudah pasrah dan hampir kehilangan asa.
Sudah tak terhitung berapa jumlah air mata dan keringat yang berjatuhan. Saat
itu aku berpikir … mungkin inilah neraka yang sesungguhnya. Namun tiba-tiba,
setitik cahaya melayang melewatiku. Hatiku melonjak girang dan kedua kakiku yang
sudah lemas tiba-tiba mendapat kekuatan lagi untuk mengikuti cahaya itu.
Aku terus mengikuti cahaya itu pergi. Aku tak
peduli kemana aku akan dituntun olehnya. Namun aku percaya, ini lebih baik
dibanding menunggu ketiadaan dalam kegelapan absolut. Cahaya itu menuntunku
menuju suatu cahaya yang lebih besar lagi. Saat itu, aku percaya mungkin
Tuhan-lah yang telah menuntun jalanku dalam kegelapan ini.”
Carissa tersenyum, jemarinya mengusap
titik-titik air mata kesedihan itu. “Aku merasa sangat lega setelah keluar dari
kegelapan itu. Aku benar-benar terlepaskan dari segala ketakutan dan segala
beban kehidupanku, tapi aku … ada satu hal yang masih mengikat jiwaku.”
“Apa itu, Sa?”
“Itu …,” Carissa menoleh ke arahku dan mengusap
pipiku dengan lembut. “Itu kamu, Wen. Rasa rinduku terhadap kalian semua
mengikat jiwaku untuk terus berada disini. Aku tak dapat pergi kesana bila aku
belum melepaskan rinduku.”
“Sa, tapi mengapa kau memilih untuk mengunjungi
aku?” Aku menepis usapan tangannya yang dingin itu. “Bukankah ada Suryo
kekasihmu yang sangat kau cintai itu?”
Carissa melebarkan kedua mata sipitnya, bola
matanya yang coklat itu menatapku dengan dalam. “Rasa rinduku padamu melebihi
segalanya, Wen. Kaulah sahabatku yang sesungguhnya. Entah mengapa, saat
kecelakaan itu terjadi, satu-satunya orang yang melintas dalam kepalaku
hanyalah dirimu.” Dia melepaskan tatapannya padaku, kemudian kembali pada
posisi duduknya tadi.
“Mungkin ini adalah kesempatan terakhirku untuk
duduk disini bersamamu. Entah mengapa aku memilih untuk menggunakan kesempatan
ini untuk bertemu denganmu. Aku hanya dapat menitipkan pesanku untuk yang lain,
Wen.”
Mataku berkaca-kaca. Penglihatanku berair, wajah
Carissa, tembok kamarku semuanya menjadi buram. Aku tak dapat menahan perasaan
ini. Semua yang telah terjadi, aku amat sangat menyesalinya. Perlahan, tubuh Carissa
bercahaya.
“Sa, andaikan waktu itu aku membiarkanmu tetap
tidur … mungkin kau tak perlu menderita begini.”
“Tidak begitu Wen.” Carissa tersenyum ke arahku
lalu dia meraih kedua tanganku. “Ini adalah takdirku. Meski kau cegah aku waktu
itu, aku akan tetap mengalami hal yang sama di lain waktu.”
Aku membiarkan kedua tanganku membeku dalam
genggamannya. “Sa, bawa aku bersamamu.”
“Tidak, Wen. Kamu harus tetap melanjutkan
hidupmu tanpa aku. Pesanku, mulai sekarang syukurilah semua hal yang kau lalui.
Kau harus yakin bahwa semua orang mencintai dan menyayangimu. Jangan pernah
menyesali semua yang telah terjadi. Kamu pasti bisa melewati semua ini, Wen.”
Tubuh Carissa bermandikan cahaya, menerangi
kamar tidurku yang gelap. Perlahan tubuhnya yang pucat pasi itu menjadi
bersinar, genggamannya juga terasa menjadi hangat.
“Wen, mungkin inilah saatnya aku untuk pergi.
Terima kasih sudah memberikanku kesempatan untuk menemui dirimu.”
“Sa …, jangan pergi.”
Carissa memeluk tubuhku, hangat rasanya.
Tubuhnya tak lagi dingin seperti mayat. Dia kemudian berbisik, “Wen, aku akan
selalu menyayangimu. Aku tidak akan pernah melupakanmu.”
Carissa melepaskan cincin mungil di jarinya dan
memakaikannya ke jari manisku. “Mungkin … benda ini akan membuatku terasa ada
di sampingmu.”
Tubuh Carissa melebur bersama cahaya yang
menyelimutinya, menjadi titik-titik cahaya yang menyilaukan. Titik-titik cahaya
itu terbang perlahan di udara, melayang ke atas dan menghilang di langit-langit
kamarku. Pipiku pun dibanjiri oleh butir-butir air mataku. Sebelum titik cahaya
terakhir menghilang, aku berbisik, “Selamat tinggal, Sahabatku …,”
Memori menyakitkan itupun kembali menghantuiku.
Perlahan ingatan itu mengaliri kepalaku lagi, membuat sesak.
“Sa,
sudah jam 10 malam. Kamu gak pulang?”
“…,”
“Eh,
ni anak malah tidur. Pulang sana, nanti dicariin bapakmu itu …, atau bilang
dulu deh sama mereka kalau mau nginep!”
“Hmm?
Oh astaga sudah semalam ini ya. Gawat kalau papa tahu. Ya sudah Wen, makasih
banyak ya buat semuanya. Aku pulang dulu ya.”
“Ya.
Ga perlu kuantar ya, pakai saja duplikat kuncinya.”
“Sip.
Bye!”
Tak kusangka, itu adalah sosok terakhir Carissa
yang aku lihat.
***
Bip pip! Bip pip!
Tanganku mencari-cari HP-ku di bawah bantal. Ah,
masih jam 2 pagi? Aku pun beranjak duduk. Oh, ya tadi aku berencana untuk
menyelesaikan skripsiku. Aku menggaruk-garuk kepalaku, mencoba untuk mencerna
semua hal yang telah terjadi.
“Hanya ... mimpi?”
Aku melirik jari manisku. Sebuah cincin mungil
berwarna emas terpasang di sana, membuat hatiku kembali bergetar.
-Tamat-