Di Pinggir Jalan




“Mengapa semua jadi begini …,”

Rasa pahit merambati kaki sampai pelipis. Darah mendidih, menjalari setiap inci tangan kaki yang sakit. Pedih yang teramat sangat menekan air mata, meledakkan seluruh sakit dan perih di hati. Bara api menyelimuti, melahap semua akal sehat. Sungguh, aku tak peduli lagi jika semua mata mengarah kepadaku.

***

“Kau adalah mutiara hatiku. Aku berjanji, aku akan selalu hadir di sisimu.” Bunga-bunga di hati bermekaran seketika. Mendung dan kelabu di wajahku terhapuskan oleh indahnya pelangi di matamu. Rona merah menghiasi pipiku, dan Hendra menciumnya dengan lembut. Oh, tuhan, hatiku melonjak, menebarkan nada-nada cinta.

“Hen, aku mencintaimu. Hidupku terasa hampa tanpa sayangmu. Aku ingin selalu … berada di dekapanmu,”

Tubuh Hendra begitu hangat saat bersentuhan dengan tubuhku. Tangannya yang kekar terasa erat merangkul pinggulku. “Sayang …,” bisik Hendra lembut di sisi telingaku. Tubuhku meleleh, melebur menjadi satu dengan tubuhnya. Aku tak ingin melepas Hendra dari dekapan tubuhku. Jiwaku telah tenggelam dalam lautan cinta yang penuh kehangatan.

Senyumnya yang elok telah membuat kepalaku dipenuhi oleh melodi yang indah. Diriku seakan kau bawa terbang, melayang di antara awan-awan berwarna pink. Mungkin, cantiknya rupa sang malaikat cinta telah membutakan mata dan telingaku. Mungkin, sihir sang peri cinta telah membuat ilusi dan mimpi menjadi nyata.

Cinta telah mengubah segalanya, membuat duniaku yang tadinya sepi menjadi penuh arti. Namun pelangi tak selalu tersenyum cantik, dan peri cinta tak selamanya hadir mengukir puisi manis. Di saat tali janji tak lagi memberi akhir pasti, hati pun berpaling menjadi dingin. Meski diri ingin janji tetap mengikat hati, namun kenyataan tetap tak bergeming.

Malam ini, Hendra berdiri di hadapanku dengan wajah yang kaku. Lidahnya seakan kelu saat hendak berkata. Sinar matanya kini terasa dingin. Tubuhnya yang biasanya penuh kehangatan kini berhiaskan kepalan tangan penuh amarah.

“Mengapa kau lakukan itu, Christine? Kau tahu posisimu dan aku tahu posisiku. Kita senang tapi ada batasnya, Tin. Kau tahu kan, kalau aku …,”

“Sudah tak perlu kau lanjutkan kata-katamu. Aku tahu. Sekarang, kita urusi saja urusan kita masing-masing. Kau tak perlu hubungi aku lagi, pergi saja. Sambut saja pelukan wanita itu.”

Dalam keheningan malam dingin, hatiku berkecamuk. Hendra berbalik badan dan pergi meninggalkan aku sendirian di pinggir jalanan penuh debu. Hanya sisa-sisa deru mobil menjadi saksi kepergiannya. Coretan-coretan hitam pada tembok rumah kosong di sampingku menjadi kenangan dalam akhir kisah kita.

Hitam malam yang pekat menusuk jiwaku, menjalari tubuhku yang terpaku. Kau pergi, meninggalkan dosa dan amarah. Perlahan, air mata mengaliri pipiku, membasahi tubuh dan hatiku yang sendu. Dalam kekosongan hening malam, aku membeku. Rasa tak percaya menyelimuti diriku, memerangkap jiwaku dalam kaku. 

Sungguh, mengapa semua harus jadi begini?

CONVERSATION

0 komentar:

Post a Comment

Back
to top