“Mengapa semua jadi begini …,”
Rasa pahit merambati kaki sampai
pelipis. Darah mendidih, menjalari setiap inci tangan kaki yang sakit. Pedih
yang teramat sangat menekan air mata, meledakkan seluruh sakit dan perih di
hati. Bara api menyelimuti, melahap semua akal sehat. Sungguh, aku tak peduli
lagi jika semua mata mengarah kepadaku.
“Kau adalah mutiara hatiku. Aku
berjanji, aku akan selalu hadir di sisimu.” Bunga-bunga di hati bermekaran
seketika. Mendung dan kelabu di wajahku terhapuskan oleh indahnya pelangi di
matamu. Rona merah menghiasi pipiku, dan Hendra menciumnya dengan lembut. Oh,
tuhan, hatiku melonjak, menebarkan nada-nada cinta.
“Hen, aku mencintaimu. Hidupku
terasa hampa tanpa sayangmu. Aku ingin selalu … berada di dekapanmu,”
Tubuh Hendra begitu hangat saat
bersentuhan dengan tubuhku. Tangannya yang kekar terasa erat merangkul pinggulku.
“Sayang …,” bisik Hendra lembut di sisi telingaku. Tubuhku meleleh, melebur
menjadi satu dengan tubuhnya. Aku tak ingin melepas Hendra dari dekapan tubuhku.
Jiwaku telah tenggelam dalam lautan cinta yang penuh kehangatan.
Senyumnya yang elok telah membuat
kepalaku dipenuhi oleh melodi yang indah. Diriku seakan kau bawa terbang,
melayang di antara awan-awan berwarna pink. Mungkin, cantiknya rupa sang malaikat
cinta telah membutakan mata dan telingaku. Mungkin, sihir sang peri cinta telah
membuat ilusi dan mimpi menjadi nyata.
Cinta telah mengubah segalanya,
membuat duniaku yang tadinya sepi menjadi penuh arti. Namun pelangi tak selalu
tersenyum cantik, dan peri cinta tak selamanya hadir mengukir puisi manis. Di
saat tali janji tak lagi memberi akhir pasti, hati pun berpaling menjadi
dingin. Meski diri ingin janji tetap mengikat hati, namun kenyataan tetap tak
bergeming.
Malam ini, Hendra berdiri di
hadapanku dengan wajah yang kaku. Lidahnya seakan kelu saat hendak berkata.
Sinar matanya kini terasa dingin. Tubuhnya yang biasanya penuh kehangatan kini
berhiaskan kepalan tangan penuh amarah.
“Mengapa kau lakukan itu,
Christine? Kau tahu posisimu dan aku tahu posisiku. Kita senang tapi ada
batasnya, Tin. Kau tahu kan, kalau aku …,”
“Sudah tak perlu kau lanjutkan
kata-katamu. Aku tahu. Sekarang, kita urusi saja urusan kita masing-masing. Kau
tak perlu hubungi aku lagi, pergi saja. Sambut saja pelukan wanita itu.”
Dalam keheningan malam dingin,
hatiku berkecamuk. Hendra berbalik badan dan pergi meninggalkan aku sendirian
di pinggir jalanan penuh debu. Hanya sisa-sisa deru mobil menjadi saksi
kepergiannya. Coretan-coretan hitam pada tembok rumah kosong di sampingku
menjadi kenangan dalam akhir kisah kita.
Hitam malam yang pekat menusuk
jiwaku, menjalari tubuhku yang terpaku. Kau pergi, meninggalkan dosa dan
amarah. Perlahan, air mata mengaliri pipiku, membasahi tubuh dan hatiku yang sendu.
Dalam kekosongan hening malam, aku membeku. Rasa tak percaya menyelimuti
diriku, memerangkap jiwaku dalam kaku.
Sungguh, mengapa semua harus jadi begini?
0 komentar:
Post a Comment