Tik … tik …
Waktu bergulir, sembari melantunkan nyanyian merdu
tanpa henti. Suara ribut mahasiswa mahasiswi masih terdengar jelas. Padahal
tadi hening sekali. Sekali hening, lalu ribut, lalu hening lagi. Seperti itulah
kebiasaan mereka disini. Aku ingin menggelengkan kepala, namun sayangnya tak
bisa.
Mataku memutari ruangan terang ini. Suara mereka terdengar
seperti dengungan lebah di kepalaku. Beberapa berkumpul di tempat-tempat yang
terpisah membentuk kelompok-kelompok kecil, seperti semut mengerubungi gula.
Menyenangkan rasanya melihat mereka tersenyum, tertawa, dan mengobrol bersama.
Bahkan di antaranya ada pasangan-pasangan yang memisah dari kelompok-kelompok
itu, menikmati dunianya sendiri.
Di antara semua mahasiswa mahasiswi disini, ada satu
yang menarik perhatianku. Gadis itu, yang selalu duduk manis di barisan paling
pinggir, menghadapku. Setiap kali anak-anak yang lain mencuri pandang padaku
saat kelas berlangsung, gadis itu tetaplah terdiam tak bergerak. Wajahnya datar
dan dingin, namun manis saat tersenyum. Ingin rasanya aku menyapa dan
berkenalan dengannya. Namun apalah dayaku, mata indahnya hanya dapat menghantui
mimpiku, memekarkan bunga-bunga dalam hatiku yang gersang.
Aku menghela napas kecil. Dinding bercat putih
dengan beberapa jendela yang tersusun rapi di antaranya memperhatikanku. Namun
aku tak peduli, mataku tetap tertuju pada gadis itu. Gadis berambut hitam
panjang yang tergerai indah itu kini sedang melahap nasi dari kotak makan
berwarna hijau. Wajah lembutnya memancarkan keindahan, membuat damai semua
orang yang melihatnya.
“Sinta, kenapa kamu makan sendiri?” Gadis berkepang
dua mendekati Sinta dan duduk di sebelahnya kirinya. Dia mengeluarkan bungkusan
dari kantong plastik berwarna hitam yang dari tadi dibawanya. Kemudian dia
membuka bungkusan itu dan menoleh pada Sinta sambil berkata,“Yuk makan bareng
aku aja.”
“Inggrid, kamu yang dari tadi menghilang. Rupanya
habis dari kantin? Pergi kok tidak bilang-bilang.” Sinta mengomel dengan
mulutnya yang masih penuh, membuat suaranya terdengar seperti orang yang
kumur-kumur. “Baiklah, ayo makan.”
Setelah itu, mereka asyik mengobrol dan bercanda
bersama tanpa mempedulikan orang-orang sekitar yang juga asyik sendiri. Waktu
terus bergulir, dan sebentar lagi waktu mereka untuk beristirahat pun akan
berakhir. Kulihat mereka mulai merapikan kursi dan meja serta peralatan menulis
mereka dan kembali ke tempat masing-masing, membuat suara yang tak kalah
gaduhnya dengan suara dengungan mereka tadi.
Gruduk, gruduk …
Tiba-tiba aku merasa diriku berguncang pelan.
Seperti ada suatu gaya yang mengguncang-guncang tubuhku. Ada apa ini? Kurasakan
guncangan yang awalnya pelan menjadi semakin kencang terasa. Kertas-kertas dan
alat tulis di meja-meja para mahasiswa turut bergetar dan bergeser-geser tanpa
arah. Meja dan kursi pun turut menari ke kanan dan ke kiri. Semua orang di
kelas mulai pucat dan panik.
“Gempa, … gempa! Ada gempa …!”
“Ayo cepat semuanya keluar dari bangunan ini!”
“Aduh, jangan dorong-dorong!”
Semua orang berebutan keluar dari ruangan, sambil
berusaha memegang apapun yang dapat menahan mereka dari ketidakseimbangan
karena lantai terus bergetar. Mereka berteriak, menangis, dan berdoa.
Kertas-kertas, buku, pulpen, pensil, dan tas mereka bertebaran dalam ruangan
seperti pasir yang berterbangan tertiup angin.
Semuanya kacau, tak terkecuali Sinta. Wajah kalem
yang biasanya terpancar dari wajahnya yang manis kini berubah pucat. Raut panik
terlihat jelas, meski dia tidak berteriak-teriak dan menjadi liar seperti yang
lainnya. Berbeda dengan yang lain, dia hanya terduduk lemas di lantai sambil
melihat ke arah orang-orang yang menumpuk berebut keluar.
Bruk !
Aku terjatuh. Tubuhku tak kuat menahan getaran di
punggungku. Kurasakan retak di wajahku, yang sakitnya terasa menjalari tubuhku
yang kecil. “Sinta, Sinta …,” aku merintih, melihat Sinta yang tengah
terengah-engah di lantai. “Seseorang tolonglah dia.”
Guncangan semakin terasa kencang. Semua orang
semakin bergerak tak teratur arah. Diriku pasrah terinjak-injak, merasakan
setiap retakan yang meremukan diriku. Namun aku tak peduli, kedua mataku hanya
tertuju pada wajah cantik Sinta yang semakin pucat. Rasa sakit yang terus
menggerogoti tubuhku, tak sebanding dengan rasa sakit melihat tubuh mungil
Sinta terinjak-injak.
“Sinta … Sinta …,”
Aku semakin tak berdaya, begitu juga Sinta. Dalam
hati aku menangis melihat tubuh Sinta penuh bekas injakan. Senyumnya telah
redup, kedua bola matanya tak lagi pancarkan keindahan, hanya titik-titik
kepedihan bertebaran di sekitarnya.
Pandanganku mulai meredup, injakan orang-orang yang
meliar seperti binatang tadi telah merusak jantungku. Perlahan, aku mulai
merasakan seluruh fungsi tubuhku memudar. Sebelum aku tak bisa lagi melihatmu,
Sinta …
“Maafkan aku …,”
***
Gempa masih berguncang dengan hebatnya, seolah belum
puas jika seluruh bangunan dan makhluk hidup belum musnah. Sebuah universitas
yang juga termakan guncangan sang gempa mengalami kekacauan yang luar biasa.
Mahasiswa mahasiswi di sana menjerit dan menangis, memohon pada langit.
Seorang gadis berambut hitam panjang terperangkap
dalam satu ruangan yang telah runtuh separuhnya. Tubuhnya berselimut meja dan
kursi, penuh dengan luka kepahitan. Dia tak membeku, namun tubuhnya kaku
membisu tanpa bisa merasa. Tak jauh di hadapannya, sebuah jam dinding dengan
tubuhnya yang tercerai berai terkulai lemah.
***
0 komentar:
Post a Comment